Skip to main content

Veritas Vincit


My friend just got temporarily suspended from his academic life, just because his campus thinks his movie screening event was 'provocative.' The movies he was screening were about the late Munir, an Indonesian human rights defender that was killed on his way to NL.

Are those movies provocative? Yes. Does that necessarily make them bad? No. Because the movies are telling the truth about injustice and impunity.

Similar things are happening everywhere, even to a noble teacher like Pak Dika who's trying to speak the truth about the extortion and injustice in the school he's working at.

What happened to him? Pak Dika got fired for speaking the truth, which is 'provocative' enough to be a defamation for the school he used to work at.

We need to understand that provocative isn't always bad or threatening. Even in my friend's case, as a form of art the movies were meant to 'provoke' our soul, thoughts, awareness, dignity and our sense of justice. Why should we limit our ways of conveying the truth?

What matters is the message, and how are we delivering it. Does it contain hate and lies or love and truth? Are you delivering it with no intention of demeaning anyone? 

Sadly, sometimes the truth of injustice is mistaken as hate and lies.

Powerful individuals or bodies have too much to lose. Therefore they tend to fear the truth of 'provocative' injustice, which makes us started questioning instead of obeying them.

But whether it's our campus or our government, the relation between the governor and the governed shouldn't be built under fear and lies.

Fear and lies will turn us against each other. In a world full of differences, truth is our way to stand together and collaborate for justice.

So do we deserve to be punished for spreading the 'provocative' truth of injustice? No.

Whatever the truth is, there's always a nobility in revealing one.

Veritas vincit!
The truth shall prevail.


Btw, you can help Pak Dika by signing this petition:

https://www.change.org/p/prof-dr-muhadjir-effendy-kembalikan-pak-dika-sebagai-pengajar-dan-stop-intimidasi-siswa?recruiter=664279985&utm_source=share_petition&utm_medium=line

Comments

Popular posts from this blog

Anak Gayo Layak Tersenyum!

Biasanya kalo lagi kongkow-kongkow bareng temen dan lagi jenuh sama mata kuliah, gua suka ngobrolin tempat-tempat wisata yang asik buat travelling. Ada yang bilang pantai Sawarna lah, pulau Kiluan lah, Karimun Jawa lah, Lombok lah, dan tempat-tempat eksotis lainnya yang bikin gua makin bete sama liburan yang nggak kunjung dateng. Tapi kalau misalnya ditanya: "Perjalanan lu yang paling seru kemana, Gi?" Kayanya gua ngga bakalan jawab Bali, Amsterdam, Paris, Garut atau Berlin. Gua bakalan jawab.. "Desa Pantan Jerik, Aceh Tengah." Akhir bulan puasa taun 2013, tepatnya 30 Juli gua bersama Kak Devi, senior gua di SFAN (Sekretariat Forum Anak Nasional) berangkat. Kami ditugaskan untuk menyalurkan bantuan Forum Anak Nasional kepada anak-anak suku Gayo yang jadi korban gempa di daerah Aceh Tengah. Selain nyalurin bantuan kaya ransel, baju koko, alat sholat, buku, alat tulis dan seragam, kami juga bakalan bikin sebuah kegiatan traumahealing buat nyemang

Lebih Dari Seks: Mahasiswa Indonesia sebagai Garda Keadilan Terakhir

Saya lahir di tahun 1994. Saya terlalu muda untuk mengingat Indonesia di tahun 1998. Reformasi, sebagaimana buku sejarah kita menyebutnya, adalah saat rezim otoriter Soeharto dijatuhkan di tahun 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun. Di samping beberapa faktor seperti krisis ekonomi, eskalasi konflik dan penggerak akar rumput seperti gerakan massal golongan buruh dan petani, aktivis HAM, serta Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masanya, Reformasi dimungkinkan terjadi karena protes besar yang dipimpin gerakan mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa menjadi sebuah gerakan nasional, saat berhasil menyebar ke berbagai kota di Indonesia dan menduduki gedung DPR. Tidak lama kemudian, presiden Soeharto menawarkan pengunduran dirinya di televisi dan Reformasi pun terjadi. Gerakan mahasiswa tetap hidup pasca Reformasi, namun tidak pernah sebesar yang terjadi di awal Reformasi. Sekarang di Indonesia, gerakan mahasiswa sepertinya telah menemukan kembali jalannya. Banyak mahasiswa mantan demonst

Indonesia Bukan Bangsa Asal-Asalan

Di Tanah Air yang penuh dengan berbagai macam ide, visi, misi dan semangat hebat, tentu kita mempunyai kebebasan untuk memilih sesuatu.  Akan tetapi kebebasan memilih itu pun harus berlandaskan pemikiran kritis dan tidak asal tunjuk. Asal terbeli omongan besar. Asal terhipnotis gestur sok heroik. Asal terpikat iklan promosi dan simbolisasi semu. Asal diperdaya oleh nasi bungkus dan sejumlah uang. Indonesia, kita ini bukan bangsa asal-asalan. Negeri kita pun bisa merdeka, bukan karena perjuangan yang asal-asalan. Negeri kita menempuh perjalanan panjang menuju demokrasi mumpuni saat ini, berkat sebagian masyarakat yang kritis. Berkat masyarakat yang aktif mencari, menelaah, mempertanyakan dan memperjuangkan kebenaran sebenar-benarnya. B aik yang namanya tercantum secara resmi sebagai pahlawan nasional, maupun pahlawan-pahlawan rakyat tak bertahta lainnya. Semua pencapaian-pencapaian hebat negeri kita berdasarkan pemikiran-pemikiran yang matang. Melalui dialog ter