Skip to main content

Supir Ojek, Butterfly Effect, dan Refleksi Ketidakjujuran Bangsa

 

"Mas, jangan nekat. Ini jalur Busway."

"Ah, slowly bro. Kayaknya hidup lu kaku banget sama aturan."

Supir ojek online tanpa helm berusia sekitar 30 tahunan itu tidak menghiraukan saya dan nekat membanting arah setirnya ke jalur Busway.
--------------
Sepanjang perjalanan itu, saya mendengarkan berbagai keluh kesah supir ojek tersebut. Mulai dari kesenjangan ekonomi, politisi, sampai kasus-kasus korupsi yang paling meresahkan beliau.

Awalnya saya berusaha memahami perspektif beliau, serta memberikan pandangan saya sebagai mahasiswa. Saya mengangguk, tertawa, dan menyampaikan simpati terhadap keluh kesahnya.

Tetapi pada saat beliau mulai melepas helmnya dan memasuki jalur Busway, pola obrolan kami berubah menjadi perdebatan terkait pelanggaran lalu lintas, sebuah ketidakjujuran yang menurutnya 'kecil' dan 'sepele' bila dibandingkan dengan kasus korupsi pejabat yang besar.

Setelah beberapa percakapan tanpa titik temu dan malah berbalaskan pembenaran diri berbau sinisme, saya kehilangan motivasi untuk melanjutkan pembicaraan.
-----------
Perjalanan saya bersama supir ojek itu mengingatkan saya pada konsep Butterfly Effect yang kira-kira seperti ini: beberapa kepakan kupu-kupu kecil di sebuah tempat mampu menyebabkan angin tornado hebat di tempat lain.

Suatu hal, sekecil apapun itu, dapat membawa perubahan yang sangat besar.

Begitu pula satu ketidakjujuran yang terjadi, bisa menjadi berbagai ketidakjujuran yang besar, terutama korupsi kelas kakap yang seakan menjadi 'ciri khas' Indonesia baik sebelum maupun sesudah Reformasi.

Tentu, bila berbicara ketidakjujuran skala besar seperti kasus korupsi kelas kakap para pejabat, kita pasti geram.
Tetapi mirisnya, terkadang unsur self-righteousness/pembenaran diri kita seringkali mengelabui akal sehat kita.

Sehingga seperti supir ojek yang membenarkan pelanggaran lalu lintasnya karena merasa 'tidak seberapa' dibanding korupsi kelas kakap, kita hanya melihat 'tornado' hasil Butterfly Effect, tanpa melihat 'kepakan kecil' yang mengawali semua ketidakjujuran skala besar itu.
-------
Maka dari itu, tantangan kita semua, terutama para generasi muda penerus bangsa, adalah menaklukkan musuh terbesar kita terlebih dahulu. Bukan koruptor kelas kakap, bukan korporat haus profit, bukan juga pejabat yang tidak setia pada konstituen.

Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.

Apakah hati nurani kita masih terbelenggu oleh pembenaran diri kita?
Apakah kita sudah mampu menaklukkan ketidakjujuran di dalam diri kita sendiri?
Berbagai pertanyaan ini hendaknya kita resapi dan menjadi sarana introspeksi yang dipertimbangkan setiap kali kita mengutuk ketidakjujuran.

Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat.

24/06/2016

Comments

Popular posts from this blog

Indonesia Bukan Bangsa Asal-Asalan

Di Tanah Air yang penuh dengan berbagai macam ide, visi, misi dan semangat hebat, tentu kita mempunyai kebebasan untuk memilih sesuatu.  Akan tetapi kebebasan memilih itu pun harus berlandaskan pemikiran kritis dan tidak asal tunjuk. Asal terbeli omongan besar. Asal terhipnotis gestur sok heroik. Asal terpikat iklan promosi dan simbolisasi semu. Asal diperdaya oleh nasi bungkus dan sejumlah uang. Indonesia, kita ini bukan bangsa asal-asalan. Negeri kita pun bisa merdeka, bukan karena perjuangan yang asal-asalan. Negeri kita menempuh perjalanan panjang menuju demokrasi mumpuni saat ini, berkat sebagian masyarakat yang kritis. Berkat masyarakat yang aktif mencari, menelaah, mempertanyakan dan memperjuangkan kebenaran sebenar-benarnya. B aik yang namanya tercantum secara resmi sebagai pahlawan nasional, maupun pahlawan-pahlawan rakyat tak bertahta lainnya. Semua pencapaian-pencapaian hebat negeri kita berdasarkan pemikiran-pemikiran yang matang. Melalui dialog ter

Anak Gayo Layak Tersenyum!

Biasanya kalo lagi kongkow-kongkow bareng temen dan lagi jenuh sama mata kuliah, gua suka ngobrolin tempat-tempat wisata yang asik buat travelling. Ada yang bilang pantai Sawarna lah, pulau Kiluan lah, Karimun Jawa lah, Lombok lah, dan tempat-tempat eksotis lainnya yang bikin gua makin bete sama liburan yang nggak kunjung dateng. Tapi kalau misalnya ditanya: "Perjalanan lu yang paling seru kemana, Gi?" Kayanya gua ngga bakalan jawab Bali, Amsterdam, Paris, Garut atau Berlin. Gua bakalan jawab.. "Desa Pantan Jerik, Aceh Tengah." Akhir bulan puasa taun 2013, tepatnya 30 Juli gua bersama Kak Devi, senior gua di SFAN (Sekretariat Forum Anak Nasional) berangkat. Kami ditugaskan untuk menyalurkan bantuan Forum Anak Nasional kepada anak-anak suku Gayo yang jadi korban gempa di daerah Aceh Tengah. Selain nyalurin bantuan kaya ransel, baju koko, alat sholat, buku, alat tulis dan seragam, kami juga bakalan bikin sebuah kegiatan traumahealing buat nyemang

Lebih Dari Seks: Mahasiswa Indonesia sebagai Garda Keadilan Terakhir

Saya lahir di tahun 1994. Saya terlalu muda untuk mengingat Indonesia di tahun 1998. Reformasi, sebagaimana buku sejarah kita menyebutnya, adalah saat rezim otoriter Soeharto dijatuhkan di tahun 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun. Di samping beberapa faktor seperti krisis ekonomi, eskalasi konflik dan penggerak akar rumput seperti gerakan massal golongan buruh dan petani, aktivis HAM, serta Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masanya, Reformasi dimungkinkan terjadi karena protes besar yang dipimpin gerakan mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa menjadi sebuah gerakan nasional, saat berhasil menyebar ke berbagai kota di Indonesia dan menduduki gedung DPR. Tidak lama kemudian, presiden Soeharto menawarkan pengunduran dirinya di televisi dan Reformasi pun terjadi. Gerakan mahasiswa tetap hidup pasca Reformasi, namun tidak pernah sebesar yang terjadi di awal Reformasi. Sekarang di Indonesia, gerakan mahasiswa sepertinya telah menemukan kembali jalannya. Banyak mahasiswa mantan demonst