Skip to main content

Lebih Dari Seks: Mahasiswa Indonesia sebagai Garda Keadilan Terakhir


Saya lahir di tahun 1994. Saya terlalu muda untuk mengingat Indonesia di tahun 1998. Reformasi, sebagaimana buku sejarah kita menyebutnya, adalah saat rezim otoriter Soeharto dijatuhkan di tahun 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun. Di samping beberapa faktor seperti krisis ekonomi, eskalasi konflik dan penggerak akar rumput seperti gerakan massal golongan buruh dan petani, aktivis HAM, serta Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masanya, Reformasi dimungkinkan terjadi karena protes besar yang dipimpin gerakan mahasiswa.
Demonstrasi mahasiswa menjadi sebuah gerakan nasional, saat berhasil menyebar ke berbagai kota di Indonesia dan menduduki gedung DPR. Tidak lama kemudian, presiden Soeharto menawarkan pengunduran dirinya di televisi dan Reformasi pun terjadi. Gerakan mahasiswa tetap hidup pasca Reformasi, namun tidak pernah sebesar yang terjadi di awal Reformasi.
Sekarang di Indonesia, gerakan mahasiswa sepertinya telah menemukan kembali jalannya. Banyak mahasiswa mantan demonstran di tahun 1998 sekarang menjadi anggot DPR, dan mereka menerima gelombang protes yang besar dari mahasiswa di masa kini. Belakangan ini di bulan September 2019, gerakan mahasiswa massal terlihat bermunculan di berbagai kota di Indonesia. Dari pulau Jawa, Kalimantan, Papua hingga Sumatera, pesan gerakan mahasiswa kali ini cukup jelas: Reformasi telah dikorupsi. Maka, tagar #ReformasiDikorupsi pun diadopsi sebagai identitas pergerakan bersama.
Lebih dari sekedar romantisasi dari Reformasi di tahun 1998, gerakan mahasiswa hari ini dipicu oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial yang diajukan pemerintah kepada DPR. Salah satunya adalah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disorot sebagai ‘Sex Law’ atau Hukum Seks oleh media internasional. Alasannya mungkin karena beberapa bagian RKUHP akan mengkriminalisasi seks di luar nikah dan hubungan sesama jenis. Namun label ini tidak adil, baik kepada RKUHP maupun gerakan mahasiswa di Indonesia. 


RKUHP yang bermasalah
KUHP memiliki sejarah panjang, yaitu sejak tahun 1946 saat Indonesia membuat Undang-Undang pertama yang diadaptasi dari hukum kolonial Belanda/Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tahun 1918. Upaya merevisi KUHP sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, sampai akhirnya draf pertama RKUHP muncul di tahun 1993. Meskipun belum ada revisi resmi yang dilakukan, versi terbaru dari draf RKUHP telah didiskusikan di DPR sejak tahun 2018.
Hal yang menjadi perhatian utama bagi gerakan mahasiswa dan aktivis akar rumput adalah upaya DPR untuk meloloskan draf RKUHP sebelum masa jabatan mereka berakhir di bulan September 2019. Tujuan ini dinilai kontroversial, mengingat RKUHP yang terbaru masih berakar pada nilai-nilai kolonial yang opresif.
Bagian terpopuler dari RKUHP adalah pasal 417 dan 419, dimana hubungan seks di luar nikah akan dikriminalisasi oleh hukuman 1 tahun penjara, dan tinggal bersama dengan lawan jenis dihukum 6 bulan penjara. Bagian popular lainnya dari RKUHP terbaru adalah pasal 421, yang menkriminaliasi hubungan sesama jenis dengan hukuman 1,5 tahun penjara. Meskipun demikian, RKUHP yang terbaru juga melanggar berbagai aspek kebebasan sipil dan kelangsunan hidup lainnya
Sebagai contoh, RKUHP terbaru akan mengancam kebebasan berekspresi. Dalam draf terbarunya, RKUHP akan membangkitkan pasal ‘Zombie’ nomor 218-220 yang akan mengkriminalisasi orang yang menghina ‘kehormatan’ presiden dengan hukuman 3,5 tahun penjara. Pasal ini disebut Zombie karena sudah pernah dihapus melalui Mahkamah Konstitusi di tahun 2016.
RKUHP terbaru juga akan mengancam kesehatan seksual dan reproduksi. Di bawah pasal 414 dan 416, pihak ‘tidak berwenang’ (termasuk orang tua dan pekerja LSM) yang menyebarkan informasi tentang kontrasepsi dan kesehatan reproduksi akan terena resiko denda dan dipenjara. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat Indonesia masih berjuang untuk kesehatan seksual dan reproduksinya yang dianggap tabu dan sulit aksesnya.
Hal yang membuat saya paling tersentak adalah fakta bahwa draf terbaru RKUHP juga cukup seksis, karena merugikan hak perempuan. Pasal 470 dari RKUHP akan membuat perempuan yang melakukan aborsi terancam dipenjara selama 4 tahun. Hukuman ini berlaku pada semua perempuan, meskipun mereka korban perkosaan, maupun memiliki kondisi medis tertentu. Gelandangan di jalan, termasuk perempuan dan nak-anak yang tinggal di jalanan sepanjang malam juga akan didenda sebesar 1 juta rupiah.


Banyak Tuntutan, Banyak Konteks
Dengan ketidakadilan yang ada terhadap perempuan di dalam RKUHP, 7 tuntutan #ReformasiDikorupsi dan gerakan mahasiswa  juga mencakup dukungan untuk hak perempuan. Beberapa di antaranya adalah dukungan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Di Indonesia, terdapat lebih dari 4,2 juta pekerja rumah tangga, yang mayoritasnya adalah perempuan. RUU Perlindungan PRT sudah ada di DPR selama 15 tahun dan belum juga disahkan, meskipun banyak siksaan terjadi kepada pekerja rumah tangga Indonesia. Sementara terkait RUU P-KS, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia terus meningkat. Meski demikian, RUU P-KS masih menerima penolakan dari kelompok konservatif, yang semakin dikuatkan oleh politik identitas sejak beberapa pemilu belakangan ini.
Di samping penolakan terhadap draf terbaru RKUHP, para mahasiswa juga menolak RUU kontroversial seperti RUU Ketenagakerjaan yang hanya berpihak pada pebisnis besar dibanding hak pekerja, RUU Minerba yang mendorong lebih banyak industri pertambangan yang ekstraktif, serta RUU Pertanahan yang melanggar janji Reforma Agraria presiden Jokowi.
Gerakan mahasiswa hari ini juga memberikan tekanan kepada pemerintah untuk mengakhiri impunitas korporasi. Khususnya terkait korporasi yang terlibat dalam bisnis yang bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera. Kebakaran hutan dan lahan tersebut telah berdampak pada asap yang sampai ke Malaysia, dan memakan korban jiwa.
Tuntutan lainnya juga memiliki kesamaan dengan tuntutan yang diajukan di tahun 1998: stop persekusi aktivis, penolakan jabatan sipil pemerintah untuk anggota TNI dan Polri yang aktif, serta penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tuntutan popular lainnya yang mirip dengan tuntutan di tahun 1998 adalah penolakan terhadap UU KPK. UU KPK sendiri telah diloloskan di DPR dalam waktu singkat, meskipun kehadirannya dianggap melemahkan KPK dengan melucuti independensinya.
Bagaimana gerakan mahasiswa hari masih menuntut poin-poin yang sama hari ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia memang masih dalam proses. Banyak tuduhan yang ditujukan pada gerakan mahasiswa hari ini, dan menuduh mereka ‘ditunggangi’ agenda tersembunyi. Namun para mahasiswa menjawab tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa satu-satunya yang menunggangi mereka adalah ‘kepentingan rakyat.’ Gerakan mahasiswa memang merupakan momen yang akan tercatat dalam buku sejarah, bila demokrasi kita masih ada nanti. Saat demokrasi dan keadilan negara ini terancam, golongan buruh dan petani, didukung oleh para mahasiswa dan pelajar datang secara kolektif seperti pahlawan untuk menyelamatkan.


Dimana kita sekarang?
Sebagai orang yang juga bergabung dalam demonstrasi dan mengikuti isu kemanusiaan, saya bisa berkata dengan yakin bahwa yang sedang terjadi di Indonesia adalah kulminasi dari kekecewaan dan kekosongan keadilan di Indonesia. Sejak Reformasi, kita menjadi makhluk pembangunan raksasa yang berjalan menginjak rakyat dan alamnya, tanpa adanya keadilan dan kemanusiaan menggerakkannya. Pusat perbelanjaan, infrastruktur, investasi, semuanya terasa kosong tanpa melihat hal yang luput dari mata kita: keadilan transisional Indonesia yang tak kunjung selesai.
Hampir dua dekade sejak Reformasi, konflik dan militerisme masih sering terjadi, khususnya di Papua yang juga menjadi tuntutan gerakan mahasiswa hari ini. Gerakan mahasiswa di tahun 2019 juga masih menghadapi brutalitas aparat---sama seperti yang terjadi di tahun 1998. Gerakan mahasiswa di tahun 2019 juga berjuang demi anti korupsi dan melawan impunitas pelanggaran HAM---tuntutan yang sama seperti ditahun 1998. Sejarah berulang, dan kaum muda tidak memiliki pilihan selain berjuang demi negara yang mereka coba cintai mati-matian.
Selama dua dekade terakhir, gerakan mahasiswa pasca Reformasi sering dilihat dengan sebelah mata. Ada karakterisasi bahwa mahasiswa demonstran adalah mahasiswa yang gagal secara akademik, dan melihat demonstrasi sebagai pelarian dari tanggungjawab akademiknya. Ada pula gagasan bahwa keadaan kini tidak seburuk 1998, maka mahasiswa seharusnya berfokus saja pada pendidikannya di sekolah. Gagasan ini digaungkan oleh Menristekdikti yang belakangan menyatakan bahwa presiden Jokowi sendiri mendorong mahasiswa untuk tidak demonstrasi dan fokus kepada kegiatan belajar di sekolah.
Tetapi hal yang tidak dimengerti oleh presiden maupun para menterinya adalah bahwa pendidikan tidak hanya didapatkan di ruang kelas, namun juga dimanapun, termasuk jalanan dimana ketidakadilan masih ada. Di negara bumi bagian utara, Greta Thunberg dan gerakan iklimnya mengerti tentang hal ini. Dan kini di negara bumi bagian selatan, mahasiswa Indonesia juga mengerti hal ini: bahwa pendidikan seharusnya membebaskan kita dan mendorong kita untuk melawan ketidakadilan, bukan sebaliknya.
Di dunia yang ideal, mahasiswa dapat menikmati waktunya untuk menjelajahi pengetahuan di kelas-kelas yang nyaman. Namun, kita tidak hidup di dunia yang ideal. Dengan semua ketidakadilan yang dilakukan terhadap dunia yang akan kita warisi sebagai generasi muda, kepatuhan dalam ruang kelas bukanlah opsi. Institusi pendidikan, dan mahasiswa serta pelajar di dalamnya, harus siap menjadi garda pertahanan terakhir untuk keadilan.
Melihat bagaimana dunia kita dijalankan sekarang, dan bagaimana negara saya Indonesia telah menyia-nyiakan Reformasi di tangan oligarki elit, sepertinya kaum muda masih harus mengubah pengetahuan mereka menjadi kekuatan yang akan membantu membawa keadilan pada bangsa kita.
Tidak ada kepastian bahwa di masa depan, mahasiswa demonstran tidak akan mengikuti jalan korup yang sama seperti orang yang mereka protes hari ini. Namun jika ada satu hal yang pasti, adalah fakta bahwa siapa mereka hari ini akan tercatat oleh sejarah untuk membuktikan signifikansi idealisme pemuda dan gerakan sipil.


Pertama kali dipublikasikan tanggal 26 September 2019, dengan judul “More than Sex: Indonesian Students as Last Line of Defense for Justice” di:

Comments

Popular posts from this blog

Anak Gayo Layak Tersenyum!

Biasanya kalo lagi kongkow-kongkow bareng temen dan lagi jenuh sama mata kuliah, gua suka ngobrolin tempat-tempat wisata yang asik buat travelling. Ada yang bilang pantai Sawarna lah, pulau Kiluan lah, Karimun Jawa lah, Lombok lah, dan tempat-tempat eksotis lainnya yang bikin gua makin bete sama liburan yang nggak kunjung dateng. Tapi kalau misalnya ditanya: "Perjalanan lu yang paling seru kemana, Gi?" Kayanya gua ngga bakalan jawab Bali, Amsterdam, Paris, Garut atau Berlin. Gua bakalan jawab.. "Desa Pantan Jerik, Aceh Tengah." Akhir bulan puasa taun 2013, tepatnya 30 Juli gua bersama Kak Devi, senior gua di SFAN (Sekretariat Forum Anak Nasional) berangkat. Kami ditugaskan untuk menyalurkan bantuan Forum Anak Nasional kepada anak-anak suku Gayo yang jadi korban gempa di daerah Aceh Tengah. Selain nyalurin bantuan kaya ransel, baju koko, alat sholat, buku, alat tulis dan seragam, kami juga bakalan bikin sebuah kegiatan traumahealing buat nyemang

Indonesia Bukan Bangsa Asal-Asalan

Di Tanah Air yang penuh dengan berbagai macam ide, visi, misi dan semangat hebat, tentu kita mempunyai kebebasan untuk memilih sesuatu.  Akan tetapi kebebasan memilih itu pun harus berlandaskan pemikiran kritis dan tidak asal tunjuk. Asal terbeli omongan besar. Asal terhipnotis gestur sok heroik. Asal terpikat iklan promosi dan simbolisasi semu. Asal diperdaya oleh nasi bungkus dan sejumlah uang. Indonesia, kita ini bukan bangsa asal-asalan. Negeri kita pun bisa merdeka, bukan karena perjuangan yang asal-asalan. Negeri kita menempuh perjalanan panjang menuju demokrasi mumpuni saat ini, berkat sebagian masyarakat yang kritis. Berkat masyarakat yang aktif mencari, menelaah, mempertanyakan dan memperjuangkan kebenaran sebenar-benarnya. B aik yang namanya tercantum secara resmi sebagai pahlawan nasional, maupun pahlawan-pahlawan rakyat tak bertahta lainnya. Semua pencapaian-pencapaian hebat negeri kita berdasarkan pemikiran-pemikiran yang matang. Melalui dialog ter