Courtesy: Jakarta Shimbun |
Perayaan tahunan hari Star Wars sedunia pada tanggal 4 Mei menegaskan kembali kedekatan saya dengan film-film Star Wars semenjak saya masih kecil. Sebagai anak kecil, saya tidak pernah menonton Star Wars di bioskop, tapi saya ingat pernah menonton VCD-nya melalui TV kecil yang usang.
Sejujurnya, saya
tidak benar-benar mengerti apa itu semua. Saya hanya melihatnya sebagai film
fantasi angkasa dan terpesona dengan semua aspek teatrikalnya seperti sinar laser,
pertarungan lightsaber dan karakter
unik yang ada di dunia Star Wars. Tahun-tahun berlalu, dan seiring bertambahnya
usia, saya mulai menyadari pesan kebaikan yang dimiliki oleh film-film Star
Wars. Semakin tua usia saya, semakin saya mencintai Star Wars dan memahaminya
sebagai wahyu bagi saya.
Dua tahun yang
lalu, tepatnya pada bulan Desember 2015, Star Wars Episode VIII: The Force
Awakens dirilis di bioskop. Mengetahui hal itu akan menjadi pengalaman Star
Wars di layar lebar yang pertama, saya ingin membuatnya teatrikal, berharga,
dan abadi dalam ingatan. Oleh karena itu saya memutuskan untuk mengenakan
kostum Darth Vader saya ke pemutaran perdana film Star Wars Episode VIII, dan
memakainya sepanjang hari. Tentu ada banyak orang yang diminta untuk berfoto bersama
saya, namun mendapat perhatian publik tidak pernah menjadi niat saya dalam
pemutaran perdana tersebut.
Beberapa teman
saya secara mengejutkan mengejek saya karena 'kekanak-kanakan' dan 'tidak
biasa' Beberapa orang juga mengatakan bahwa saya terlalu 'teatrikal.' Sayangnya
mereka salah paham dengan saya, karena saya berpakaian seperti Darth Vader
bukan untuk siapa-siapa, tetapi demi kepuasan saya sendiri. Saya tidak
membutuhkan persetujuan, penolakan, atau penilaian dari siapapun. Jika beberapa
anak senang karena bisa berfoto dengan saya, itu juga suatu kehormatan dan
kepuasan pribadi bagi saya. Namun pada hari itu, saya hanya menjadi diri saya,
seorang penggemar berusia 21 tahun yang percaya bahwa entah bagaimana dengan
mengenakan kostum Darth Vader, dia bisa mendapatkan pengalaman layar lebar Star
Wars perdananya yang tak terlupakan.
Setelah pemutaran
perdana film tersebut, saya teringat saat saya mengenakan kostum Darth Vader
saya ke demonstrasi pengendalian tembakau yang saya adakan bersama teman-teman Gerakan
Muda FCTC. Sama seperti saat pemutaran perdana Star Wars, kostum saya berhasil menarik
banyak orang untuk mendukung perjuangan kami. Bahkan The Jakarta Post secara
tidak terduga meliput berita dari demonstrasi kami yang berjudul "Death
Star" dengan foto Darth Vader yang secara teatrikal mengacungkan
jempolnya, sembari memegang spanduk FCTC.
Di penghujung
hari, saya menyadari satu hal yang membuat saya menyukai film Star Wars:
teatrikalitasnya.
Semua kostum dan
efek khusus yang ada disandingkan untuk secara efektif menyampaikan kisah-kisah epik
tentang pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. Seorang putri pemberontak
yang tidak menunggu untuk diselamatkan dan memulai misi berani untuk
menyampaikan pesan dan menyelamatkan nyawa banyak orang. Konflik keluarga dimana
seorang ayah berdamai dengan anaknya dan menebus kesalahannya. Perjuangan untuk
demokrasi oleh Jedi dan Rebel melawan pemerintah otoriter Galactic Empire yang
dikuasai oleh penguasa Sith yang jahat. Kisah-kisah ini dengan kebajikan
seperti kebebasan, penebusan dosa dan demokrasi terbungkus dalam satu opera
angkasa raksasa, ditaburi dengan teatrikalitas yang tak terhitung jumlahnya,
membuat masyarakat bisa menggali lebih dalam Star Wars dan nilai-nilai kebaikan
dalam cerita-ceritanya.
Courtesy: The Jakarta Post |
Tidak mengherankan bahwa kebanyakan orang akan setuju bahwa konsep teatrikalitas memainkan peran besar dalam menarik minat orang untuk memahami kebajikan dalam kisah-kisah epik film Star Wars. Fakta ini telah mendorong orang untuk menggunakan konsep teatrikalitas Star Wars untuk mengungkapkan karakter dan cerita yang mereka cintai. Beberapa bahkan menggunakan konsep teatrikalitas untuk menyampaikan pesan kebajikan dari kisah epik mereka masing-masing. Misalnya, baru-baru ini kita bisa melihat orang-orang membawa spanduk Putri Leia, karakter Star Wars, dengan jargon "Tempat Wanita Adalah Perlawanan," memperkuat karakter Star Wars sebagai simbol feminisme pada kegiatan Women’s March di seluruh dunia.
Saya sendiri juga
mengenakan kostum Darth Vader pada Women’s March untuk mendukung perjuangan
dari gerakan tersebut. Bahkan di samping Star Wars, beberapa orang di Indonesia
yang memiliki kedekatan dengan budaya pop lainnya telah terinspirasi untuk
menggunakan konsep teatrikalitas untuk tujuan tertentu, seperti pria dari
Kulonprogo yang terlihat mengenakan kostum Batman dalam sebuah demonstrasi
untuk memprotes pembangunan kota yang tidak mendukung hak petani.
Courtesy: @lord_kobra on Twitter. |
Selain budaya pop, teatrikalitas juga telah digunakan di beberapa kampanye lain seperti yang dilakukan oleh Greenpeace pada tahun 2010, ketika beberapa aktivis mengenakan kostum orangutan untuk memprotes Nestlé dan hubungannya dengan perusahaan perusak hutan.
Kadang sandiwara
juga digunakan untuk mengungkapkan ucapan satire untuk memprotes tokoh
masyarakat tertentu, seperti bagaimana saya memakai topeng Donald Trump,
seorang pemimpin negara sekaligus anti kritik terkenal yang melabeli 'berita
palsu' ke media yang mengkritisinya dalam perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia
yang diselenggarakan oleh UNESCO beberapa bulan yang lalu.
Beberapa orang
mungkin tidak menyukai teatrikalitas dalam demonstrasi dan menganggapnya
sebagai lelucon. Beberapa orang mungkin juga menganggap bahwa teatrikalitas
hanya dapat dikaitkan dengan bagian masyarakat yang tersegmentasi, seperti
khalayak muda dan penggemar budaya pop. Meskipun demikian, semua kostum,
instalasi dan bahan teater lainnya di banyak demonstrasi telah membawa
kegembiraan pada orang-orang yang berkumpul bersama mereka, mendukung
perjuangan mereka dan meliput berita untuk mereka. Selain itu, teatrikalitas
juga telah membuktikan potensinya untuk mengubah metode kampanye konvensional dan
mempromosikan tujuan baik melalui simbol dan dongeng populer.
Kita hidup di
dunia yang pahit, dimana rasa takut dan benci mendominasi realitas masyarakat
kita. Kita bahkan mungkin mendapati diri kita muak dengan bersikap optimis saat
fakta-fakta menunjukkan sebaliknya. Sedikit sentuhan teatrikal akan mendorong
kita untuk menemukan harapan nyata di antara fantasi. Dengan merangkul
teatrikalitas dalam mencapai tujuan baik kita, kita akan diingatkan bahwa
bahkan di saat-saat paling gelap sekalipun, kita dapat mengubah ketakutan kita
menjadi harapan yang lebih besar daripada dongeng favorit kita.
"Make Media Great Again!"
Courtesy: @rigomortis on Instagram.
|
------------
Artikel ini pertama kali dipublikasikan 31 Mei 2017 di Magdalene.co.
English version can be found here.
Comments
Post a Comment