Skip to main content

Selepas Sekolah Hak Asasi Manusia



Butuh belasan hari untuk saya beradaptasi dengan realita tanpa SeHAMA. Program selama 21 hari itu telah berhasil mengguratkan kesan mendalam pada diri saya.

Begitu dalamnya kesan yang saya dapat, sampai-sampai saya merasa ruang dan waktu mengkhianati rasionalitas saya yang berusaha berkelit dari kekosongan di detik ini.

Selama 21 hari kita saling terbentur dan terbentuk. Di sudut mata mengintip prinsip. Beradu nalar dalam kelakar. Berpacu bersama mencapai transedensi.

Belasan hari sudah saya berusaha mengenyahkan residu euforia dan pencerahan yang kita alami selama SeHAMA, kawan. Tetapi semua itu sulit saat relasi yang dibangun telah terpupuk sedemikian dalamnya, hingga rasanya ingin saya rekatkan dengan permanen lego yang sudah kita susun bersama.

Namun pada akhirnya, sebaik apapun lego yang kita susun, harus ada disintegrasi agar lego-lego yang ada dapat mengembangkan bentuk masing-masing. Begitu pula kita, kawan. Begitu pula kita.

 

Selama SeHAMA saya banyak memilih untuk menyendiri, karena saya takut terperangkap atmosfer temporer yang tidak akan pernah kembali. Berusaha mempermudah transisi ke realita setelah kebersamaan kita habis. Namun di akhir hari, saya menyadari sesuatu.

Permanensi momen dalam atmosfer temporer memang sulit dipertahankan, tetapi inklusi diri dalam momen setidaknya akan memperkaya kurasi memori kita.
Sehingga akhirnya, ketakutan saya berubah menjadi wujud penyesalan diri terhadap memori yang tidak pernah ada dan momen yang tidak akan pernah kembali.
Bila bisa kembali, kawan, saya akan kembali.



Berusaha memberi kompensasi diri, hati kecil saya yang keras kepala telah bersikukuh. Ini bukan terakhir kalinya kita bertemu, kawan.

Kita akan saling menjumpai di balik pintu-pintu kemungkinan, di dalam ruang-ruang perjuangan, dan menembus jendela-jendela keadilan.

Sampai saat itu tiba, biarkan diri kita berkelana dalam petualangan masing-masing.

Jakarta, 2 September 2016

Kawan kalian yang diam-diam tertambat masa yang lewat,

Gian



#SeHAMA8 #KontraS

Comments

Popular posts from this blog

Anak Gayo Layak Tersenyum!

Biasanya kalo lagi kongkow-kongkow bareng temen dan lagi jenuh sama mata kuliah, gua suka ngobrolin tempat-tempat wisata yang asik buat travelling. Ada yang bilang pantai Sawarna lah, pulau Kiluan lah, Karimun Jawa lah, Lombok lah, dan tempat-tempat eksotis lainnya yang bikin gua makin bete sama liburan yang nggak kunjung dateng. Tapi kalau misalnya ditanya: "Perjalanan lu yang paling seru kemana, Gi?" Kayanya gua ngga bakalan jawab Bali, Amsterdam, Paris, Garut atau Berlin. Gua bakalan jawab.. "Desa Pantan Jerik, Aceh Tengah." Akhir bulan puasa taun 2013, tepatnya 30 Juli gua bersama Kak Devi, senior gua di SFAN (Sekretariat Forum Anak Nasional) berangkat. Kami ditugaskan untuk menyalurkan bantuan Forum Anak Nasional kepada anak-anak suku Gayo yang jadi korban gempa di daerah Aceh Tengah. Selain nyalurin bantuan kaya ransel, baju koko, alat sholat, buku, alat tulis dan seragam, kami juga bakalan bikin sebuah kegiatan traumahealing buat nyemang

Lebih Dari Seks: Mahasiswa Indonesia sebagai Garda Keadilan Terakhir

Saya lahir di tahun 1994. Saya terlalu muda untuk mengingat Indonesia di tahun 1998. Reformasi, sebagaimana buku sejarah kita menyebutnya, adalah saat rezim otoriter Soeharto dijatuhkan di tahun 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun. Di samping beberapa faktor seperti krisis ekonomi, eskalasi konflik dan penggerak akar rumput seperti gerakan massal golongan buruh dan petani, aktivis HAM, serta Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masanya, Reformasi dimungkinkan terjadi karena protes besar yang dipimpin gerakan mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa menjadi sebuah gerakan nasional, saat berhasil menyebar ke berbagai kota di Indonesia dan menduduki gedung DPR. Tidak lama kemudian, presiden Soeharto menawarkan pengunduran dirinya di televisi dan Reformasi pun terjadi. Gerakan mahasiswa tetap hidup pasca Reformasi, namun tidak pernah sebesar yang terjadi di awal Reformasi. Sekarang di Indonesia, gerakan mahasiswa sepertinya telah menemukan kembali jalannya. Banyak mahasiswa mantan demonst

Indonesia Bukan Bangsa Asal-Asalan

Di Tanah Air yang penuh dengan berbagai macam ide, visi, misi dan semangat hebat, tentu kita mempunyai kebebasan untuk memilih sesuatu.  Akan tetapi kebebasan memilih itu pun harus berlandaskan pemikiran kritis dan tidak asal tunjuk. Asal terbeli omongan besar. Asal terhipnotis gestur sok heroik. Asal terpikat iklan promosi dan simbolisasi semu. Asal diperdaya oleh nasi bungkus dan sejumlah uang. Indonesia, kita ini bukan bangsa asal-asalan. Negeri kita pun bisa merdeka, bukan karena perjuangan yang asal-asalan. Negeri kita menempuh perjalanan panjang menuju demokrasi mumpuni saat ini, berkat sebagian masyarakat yang kritis. Berkat masyarakat yang aktif mencari, menelaah, mempertanyakan dan memperjuangkan kebenaran sebenar-benarnya. B aik yang namanya tercantum secara resmi sebagai pahlawan nasional, maupun pahlawan-pahlawan rakyat tak bertahta lainnya. Semua pencapaian-pencapaian hebat negeri kita berdasarkan pemikiran-pemikiran yang matang. Melalui dialog ter