Di Tanah Air yang penuh dengan berbagai macam ide, visi, misi dan semangat hebat, tentu kita mempunyai kebebasan untuk memilih sesuatu. Akan tetapi kebebasan memilih itu pun harus berlandaskan pemikiran kritis dan tidak asal tunjuk.
Asal terbeli omongan besar. Asal terhipnotis gestur sok heroik. Asal terpikat iklan promosi dan simbolisasi semu. Asal diperdaya oleh nasi bungkus dan sejumlah uang.
Indonesia, kita ini bukan bangsa asal-asalan.
Negeri kita pun bisa merdeka, bukan karena perjuangan yang asal-asalan.
Negeri kita menempuh perjalanan panjang menuju demokrasi mumpuni saat ini, berkat sebagian masyarakat yang kritis.
Berkat masyarakat yang aktif mencari, menelaah, mempertanyakan dan memperjuangkan kebenaran sebenar-benarnya. Baik yang namanya tercantum secara resmi sebagai pahlawan nasional, maupun pahlawan-pahlawan rakyat tak bertahta lainnya.
Semua pencapaian-pencapaian hebat negeri kita berdasarkan pemikiran-pemikiran yang matang. Melalui dialog terbuka yang konstruktif dan dinamis. Dialog dimana setiap orang tidak takut mengkritisi pilihannya, mempertanyakan kebenaran yang dia tahu, atau bahkan bertukar persepsi dengan orang lain. Kekritisan dan aktivisme masyarakat adalah sesuatu yang telah membangun bangsa kita menjadi lebih baik. Progresif. Terutama dalam menjalin hubungan timbal balik yang baik antara pemerintah dan rakyatnya. Sehingga pemerintah mengetahui apa yang betul-betul dipikirkan dan dirasakan oleh rakyatnya.
Memang, ada masanya dimana kekritisan dan aktivisme masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan subversif.
Selama 32 tahun, Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri.
Selama 32 tahun, masyarakat Indonesia dibungkam. Disaring suaranya. Dipendam pendapatnya. Dihentikan gerakannya.
Pemerintah membebaskan dirinya, tetapi memperbudak rakyatnya. Pemerintah menjadi penggembala kejam yang memaksa rakyatnya selaku kambing untuk tunduk dan mengikuti segala keputusannya. Semua 'prestasi hebat' yang dicapai Indonesia dicapai dengan mengorbankan hak individual masyarakatnya.
Namun masa-masa kelam itu telah berlalu.
Dengan ongkos nyawa dari ribuan martir pejuang kemanusiaan yang bahkan rela hilang raganya, kita merenggut kembali hak kita untuk bebas memilih. Bebas berpendapat. Bebas berekspresi. Bebas aktif bergerak, mengkritisi keadilan wakil rakyat yang merupakan pilihan kita sendiri.
Apakah pilihan kita sudah benar?
Apakah pilihan kita hanya menguntungkan sebagian pihak saja?
Apakah pilihan kita sudah jelas dan terbukti kebenarannya?
Maka melalui tulisan ini, kita harus saling menyadarkan bahwa kini, kita, masih memiliki kebebasan itu. Sudah sepatutnya kita tidak menyia-nyiakan kebebasan yang sudah berjalan 16 tahun ini.
Setiap pilihan yang ada, setiap keadilan dan kebenaran yang kita ketahui, masih bisa kita kritisi dan pertanyakan. Memang, mempertahankan dan memperjuangkan pilihan itu bagus. Tetapi jangan tutup matamu. Jangan tutup telingamu.
Kita memiliki dua mata dan dua telinga, tetapi hanya satu mulut. Ini berarti kita harus lebih banyak melihat dan mendengarkan pilihan lain di sekitar kita. Masih banyak yang harus kita kritisi. Tidak hanya mengkritisi pilihan orang lain, tetapi juga mengkritisi pilihan kita sendiri. Tidak usah takut untuk mempertanyakan pilihan kita, apabila kita yakin kebenaran sudah kita genggam.
Ibarat kita membeli baju lebaran, kita tidak bisa asal-asalan berbelanja. Kita harus aktif mencari tahu apa yang kita mau beli.
Apakah ukurannya pas untuk kita saat ini?
Apakah harganya pantas untuk dibeli?
Apakah bahannya nyaman untuk dipakai?
Dimulai dari hal-hal kecil seperti itu, kita bisa memiliki harapan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki semangat kekritisan dan aktivisme yang dulu telah menelurkan Indonesia yang progresif.
Indonesia yang aktif. Indonesia yang kritis. Indonesia yang tidak buta dan tuli, tetapi mau berdialog untuk menemukan kebenaran yang seadil-adilnya dalam setiap pilihan masing-masing. Terutama dalam menentukan sikap dan pilihan terhadap pemimpin bangsa Indonesia 5 tahun kedepan.
Belajar dari masa lalu, sejarah mencatat bahwa Indonesia bukan bangsa yang asal-asalan.
Mari aktif menyumbangkan hak pilih kita tahun ini dengan kritis, sebaik-baiknya, sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Siapapun presidennya, mari kita lestarikan tradisi berdialog secara kritis dan aktif ini.
Untuk membuktikan bahwa demokrasi yang kita punya itu tidak sia-sia.
Untuk membuktikan bahwa Reformasi tanggal 21 Mei 1998 itu tidak sia-sia.
Untuk membuktikan bahwa kebebasan berpendapat yang kita miliki itu tidak sia-sia.
Untuk membuktikan bahwa Indonesia, bukan bangsa yang asal-asalan.
Salam Indonesia.
P.S.
Bila dicermati, tidak ada kata 'saya', 'aku' atau 'gue' dalam teks ini. Hanya ada 'kita' yang merepresentasikan kita, bangsa Indonesia seutuhnya.
Di Tanah Air yang penuh dengan berbagai macam ide, visi, misi dan semangat hebat, tentu kita mempunyai kebebasan untuk memilih sesuatu. Akan tetapi kebebasan memilih itu pun harus berlandaskan pemikiran kritis dan tidak asal tunjuk.
Asal terbeli omongan besar. Asal terhipnotis gestur sok heroik. Asal terpikat iklan promosi dan simbolisasi semu. Asal diperdaya oleh nasi bungkus dan sejumlah uang.
Comments
Post a Comment